MENURUNNYA KESEHATAN MENTAL REMAJA DI MASA PANDEMIC COVID-19

Pendahuluan
Covid-19 telah banyak memberikan dampak buruk yang begitu besar bagi keberlangsungan hidup manusia. Krisis yang melanda bukan hanya dalam aspek perekonomian melainkan seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Tidak terkecuali kehidupan remaja yang berpotensi mengalami perubahan-perubahan psikososial pada anak seperti OCD, stres, bosan, emosi negatif.
Terdapat studi tentang kesehatan mental remaja akibat Covid-19 yang dilakukan oleh Liu dkk. di Cina dengan responden sebanyak 253 remaja, hasilnya sebesar 7% menunjukan stres pasca trauma satu bulan setelah wabah pandemi. Di dukung oleh studi lain menunjukan sebesar 53% mengalami perasaan teror, 0,9% menunjukan gejala yang parah, 2, 7 gejala sedang dan 21,3 gejala ringan. Dari hasil penelitian tersebut di temukan bahwa pandemi sangat berpengaruh akan kesehatan metal remaja. Akan tetapi, kesehatan mental pula tergantung pada setiap individu dan keluarga dalam menjalani kehidupan di masa pandemi Covid-19. Sedangkan di wilayah Indonesia penelitian tentang kesehatan remaja dilakukan oleh I Gusti Ayu Rai Rahayuni dkk (2020) di Bali, menunjukan bahwa sebesar 57,6% menunjukan adanya gejala psikotik dan 42,4% tidak menujukan gejala psikotik.
Bukti lain yang disampaikan oleh WHO (2020) bahwasanya selama pandemi, individu berpotensi mengalami gejala trauma psikologis, bunuh diri dan kepanikan. Kondisi tersebut semakin di per parah oleh keadaan yang harus menjalani kehidupan di rumah ditambah lagi dengan adanya kekerasan dalam keluarga, penggunaan gadget dan internet yang berlebihan, beban akademik, dan konten media sosial.
Munculnya gejala gangguan kesehatan mental tergantung individu yang menjalani kehidupan di masa pandemi Covid-19, remaja yang mengalami ketakutan berlebihan tentunya akan memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan misalnya menurunnya sistem imun tubuh, sedangkan remaja yang acuh tak acuh pun juga memunculkan resiko yang berdampak negatif bagi diri dan orang di sekitarnya. Dengan demikian remaja mestinya menerapkan hidup yang waspada tanpa perlu takut yang berlebihan, dan tetap mengindahkan protokol kesehatan tentunya dibarengi dengan menghindari hal-hal yang menyebabkan menurunnya kesehatan mental.
Pembahasan
Sebelum membahas lebih jauh, terlebih dahulu kita menyamakan akan persepsi tentang remaja. Menurut Mappiare dikutip oleh Faizah Noer Laela (2017) masa remaja di mulai pada usia antara usia 12 - 21 tahun bagi wanita dan 13 - 22 tahun bagi pria.
Adapun penyebab menurunnya kesehatan mental pada remaja adalah sebagai berikut: 1. Kehidupan dalam keluarga
Di masa pandemi remaja lebih banyak menghabiskan aktivitas di rumah, sehingga kehidupan di dalam keluarga sangat perlu di perhatikan, mulai dari suasana, hingga pola asuh orang tua. Laporan kekerasan seksual, pemerkosaan, kekerasan, dan pornografi Online telah mencapai puncaknya sejak penerapan kebijakan jarak sosial dan kebijakan bekerja dari rumah (Abdullah, 2020). Di kutip dari Okenews (2020) dalam kurun rentang waktu 2 Maret sampai 25 April 2020 terjadi sekitar 275 kekerasan yang terjadi pada perempuan dengan total korban sebanyak 277 orang. Sedangkan 368 kasus kekerasan yang terjadi pada anak dengan jumlah korban 407 orang.
Dari kasus di atas dapat kita pahami bahwa pandemi Covid-19 sang at besar dampaknya dalam segala aspek lini kehidupan, hanya dalam kurun waktu sebulan jumlah korban KDRT sudah besar, apalagi jika pandemi berlangsung lama, tentunya jumlah kasus dan korban akan terus meningkat dan turut penyumbang penyebab menurunnya kesehatan mental seorang remaja, hal ini dapat dilihat dari dampak kekerasan yang sampaikan oleh Vitria Lazzarni (2011) yaitu 1) Anak merasa ketakutan, kebingungan, dan sangat kaget melihat kekerasan yang terjadi pada orangtuanya, 2) Tumbuh perasaan bersalah karena menganggap diri menjadi penyebab munculnya kekerasan, 3) Menjadi rewel, mengeluh sakit, sulit tidur, dan kembali berperilaku seperti bayi, 4) Cenderung suka melawan dan kasar atau malah justru menjadi tidak mau berteman dan lebih memilih menyendiri, 5) Mengganggu perkembangan anak, baik secara fisik, kejiwaan, perilaku, maupun prestasinya nanti, 6) Dampak jangka panjang pada anak laki-laki adalah meniru perilaku kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya. Sedangkan anak perempuan cenderung menerima kekerasan sebagai suatu hal yang wajar sehingga ketika dewasa nanti besar kemungkinan akan kembali menjadi korban.
Penyebab lain menurunnya kesehatan mental remaja dalam keluarga adalah polah asuh orang tua. dikutip dari OkeLifestyle, Kak Seto (2020) mengungkapkan terdapat tiga penyebab anak mengalami stres saat di rumah, salah satunya adalah polah asuh orang tua.
Secara umum terdapat di tiga pola orang tua dalam mengasih anak, pertama, Authoritarian yaitu pola asuh orang tua yang bersifat otoriter dan berorientasi pada hukuman dan jarang memberikan pujian. Kedua, Permissive yaitu bentuk pola asuh yang jarang memberikan perintah dan cenderung memanjakan anak dan membiarkan anak melakukan apapun tanpa adanya bimbingan. Ketiga, Authoritative yaitu pola asuh orang tua yang bersifat demokratis yang bercirikan seperti orang tua mendengarkan pendapa anak, menghargai dan mengarahkan anak.
Dari bentuk polah asuh orang tua terhadap anak tersebut sangat di harapkan orang tua mampu menerapkan pola asuh yang ketiga, demi mencegah perasaan tertekan pada anak yang berujung pada stres serta tidak terlalu memanjakan anak, terlebih mereka akan memasuki usia yang harus membutuhkan sikap mandiri. Terlebih di masa pandemi covid
19 anak lebih banyak di rumah sehingga orang tua harus mampu mendidik anak dengan baik.
Tidak dapat di pungkiri bahwa selama pandemi Covid-19 peran orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak menjadi sangat sentral. Orang tua harus menjadi guru semua mata pelajaran bagi anak. Orang tua di tuntut harus mampu menjelaskan semua materi pelajaran kepada anak bahkan memaksakan suatu capaian kepada anak. Sementara itu,
orang tua juga belum tentu memahami materi pelajaran anaknya. Selain itu pola asuh orang tua yang tidak sabar dalam mendidik anak dapat menimbulkan kekerasan, hal ini menyebabkan anak menjadi tertekan dan akhirnya mengalami stres.
Selain pola asuh Kak Seto juga menyampaikan bahwa anak yang di lingkungan keluarga yang perokok beresiko mengalami stres. Tidak dapat di pungkiri beban psikis di masa pandemi Covid-19 sangat berpotensi mengaktifkan kembali ungkapan semakin stres seorang semakin sering pula merokok.
Rokok itu dapat meracuni anak, terlebih jika di rumah itu ada balita atau bayi, sebab paparan nikotin yang tersebar bahkan menempel di barang-barang akan berdampak sangat buruk bagi kesehatan anak (Sukardi, 2020).
Selama pandemi Covid-19 keseharian anak akan lebih banyak dihabiskan bersama orang tuanya di rumah. Oleh karena itu anak yang sering melihat orang tuanya merokok sangat berpotensi untuk ikut merokok. Hal ini didukung oleh remaja memiliki tingkat penasaran yang lebih tinggi serta lebih mudah mencontoh apa yang dilihatnya dari pada yang didengarnya.
Dengan demikian solusi yang paling tepat adalah menciptakan suasana keluarga yang nyaman bagi semua anggota keluarga, menjalin komunikasi yang baik dalam keluarga, orang tua harus mengerti kebutuhan remaja begitupun sebaliknya. 2. Konten media sosial
Konten media sosial ini bersinggungan dengan apa yang disampaikan oleh Kak Seto dalam OkeLifestyle (2020) yaitu “anak tertekan sehingga gadget menjadi pelampiasan”. Keseharian anak yang sebelumnya di isi dengan bersekolah, bermain dan aktivitas lainnya, kini mereka harus di tuntut untuk di rumah. Adanya tekanan dan larangan untuk berdiam di rumah dalam waktu yang lama membuat seseorang khususnya remaja merasa bosan dan stres.
Dahulu mereka bisa mengerjakan tugas sekolah secara berkelompok, kini seorang anak mengerjakan tugas-tugasnya sendiri atau di bantu oleh orang tua. Proses belajar dan mengajar yang berlangsung secara online pun juga bagi anak sesuatu hal yang sangat membosankan dan melelahkan di mana harus di depan laptop atau HP selama berjam-jam.
Saat di rumah saja dan tidak aktivitas lain serta merasa bosan remaja akan berusaha untuk mencari pelampiasan, misalnya seperti bermain gadget. Kak Seto menyampikan bahwa perilaku ini akan berdampak pada tumbuh kembang remaja apalagi jika mereka mengakses informasi yang mengandung hal-hal yang negatif seperti video kekerasan, pornografi. Dampak penggunaan gadget yang berlebihan seperti susah tidur (insomnia), gangguan pola makan, gangguan kesehatan mata, gangguan dalam kehidupan keluarga, sosial, akademik prestasi di sekolah, atau pun cyber bullying.
Dalam https://wartakota.tribunnews.com/ (2020) Di masa pandemi covid-19 di laporkan mengalami peningkatan sebesar 18 persen dari sebelum adanya wabah. Grubbs menduga kuat bahwa peningkatan konsumsi pornografi yang drastis di masa pandemi sekarang ini karena orang mengalami kebosanan. Makin bosan, makin tinggi minat untuk
mengonsumsi materi porno. Di kutip dari laman https://www.kemenpppa.go.id/ Diena Haryana mengungkapkan sebanyak 95,1% remaja SMP dan SMA di 3 (tiga) kota besar di Indonesia, yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Aceh telah mengakses situs pornografi dan menonton video pornografi lewat internet. 0,48% diantaranya diketahui teradiksi ringan, dan 0,1% teradiksi berat (Data Kemenkes dan Kemdikbud, 2017). Ini menunjukan semakin canggihnya teknologi digital di suatu wilayah, maka semakin mudah bagi anak
anak di sana untuk mengakses pornografi
Akses pornografi sangat mengkhawatirkan karena kecanduan pornografi pada anak memilki dampak lebih berbahaya dari Napza karena dapat merusak 5 (lima) bagian otak manusia, salah satunya Pre Frontal Cortex (PFC) sebagai bagian penting pengontrol fungsi moral untuk membedakan hal baik dan buruk, merencanakan kehidupan ke depan, dan mengambil keputusan ataupun munculnya perilaku seksual yang negatif
Guna menghindari hal tersebut, orang tua harus mengontrol dan mengawasi penggunaan gadget pada anak mereka, tidak hanya mengontrol akan tetapi perlu juga menciptakan lingkungan yang bersahabat dan kehangatan relasi agar anak merasa lebih nyaman berada di samping orang tuanya sehingga anak lebih mudah untuk di ajak berdiskusi, berbincang-bincang dan mengajak mereka untuk melakukan aktivitas kecil seperti membantu membersihkan rumah.
3. Ketakutan yang berlebihan
Munculnya OCD (obsessive compulsive disorder) menjadi salah satu dampak dari ketakutan berlebihan akan terinfeksi virus Covid-19. Sebagai contoh misalnya remaja menerima barang dari orang lain, seketika akan mencari atau mencuci tangan. contoh lain ketika seseorang beribadah di masjid, kemudian di sampingnya tidak mengenakan masker, setelah selesai salam dalam sholat, langsung keluar tanpa berzikir karena dihantui perasaan takut terinfeksi virus yang diakibatkan di sebelahnya tidak mengenakan masker
Hal ini memang secara fisik memang berdampak akan kesehatan akan tetapi secara mental berdampak negatif yang berujung pada lebih memilih untuk mengurung diri di dalam rumah dan berlanjut pada kurangnya interaksi sosial dengan lingkungannya pada akhirnya menutup diri dari pergaulan sosial. Padahal pengalaman sosial sangat berperan dalam pengembangan otak manusia (otak sosial) dimana jika seorang anak berinteraksi dengan anak lainnya yang memiliki pengalaman sosial yang berbeda tentu itu akan berpengaruh pada perubahan otak, terlepas dari pengalaman sosial yang bersifat negatif atau positif hal ini disampaikan oleh Eric Jansen (2005).
Solusi dari persoalan ini adalah salah satunya dengan kembali lagi ke pola asuh yang diberikan oleh orang tua dan kehidupan keluarga serta lingkungan sekitarnya. Dimana hendaknya bimbing untuk tidak terlalu paranoid akan pandemic Covid-19, waspada harus akan tetapi jangan takut berlebihan.
Kesimpulan
Pandemi Covid-19 berdampak bagi segala aspek kehidupan, tidak terkecuali pada kesehatan mental remaja. Guna menghindari hal tersebut langkah yang paling pertama dilakukan
adalah menciptakan lingkungan keluarga yang positif, terkait konten pornografi, orang tua harus mengontrol gadget anaknya, sebisa mungkin seorang remaja diajak untuk melakukan aktivitas yang positif misalnya olahraga, berdiskusi tentang akademik anak, mempelajari agama, dan aktivitas lainnya.
Komentar
Label Konten
Baca Juga
Pembuatan Website Aplikasi Top Up Game dan Pulsa
Pembuatan Website Aplikasi Top Up Game dan Pulsa - Kami Menyediakan banyak pilihan tampilan dan fitur…
Panduan Lengkap Menjadi Freelancer Sukses di Era Digital
Panduan Lengkap Menjadi Freelancer Sukses di Era Digital - Era digital telah membuka banyak peluang…
Manfaatkan Waktumu dengan Bijak! Temukan Kerja Online Menguntungkan Dibayar ke DANA
Manfaatkan Waktumu dengan Bijak! Temukan Kerja Online Menguntungkan Dibayar ke DANA - Di era digital…