MENURUNNYA KESEHATAN MENTAL REMAJA DI MASA PANDEMIC COVID-19

Umum 6 bulan yang lalu Administrator 9 Menit membaca 1010x Dilihat Play Pause Resume Stop
blog-coronavirus.jpg

Pendahuluan  

Covid-19 telah banyak memberikan dampak buruk yang begitu besar bagi  keberlangsungan hidup manusia. Krisis yang melanda bukan hanya dalam aspek perekonomian  melainkan seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Tidak terkecuali kehidupan remaja yang  berpotensi mengalami perubahan-perubahan psikososial pada anak seperti OCD, stres, bosan,  emosi negatif.  

Terdapat studi tentang kesehatan mental remaja akibat Covid-19 yang dilakukan oleh Liu  dkk. di Cina dengan responden sebanyak 253 remaja, hasilnya sebesar 7% menunjukan stres pasca trauma satu bulan setelah wabah pandemi. Di dukung oleh studi lain menunjukan sebesar 53%  mengalami perasaan teror, 0,9% menunjukan gejala yang parah, 2, 7 gejala sedang dan 21,3 gejala  ringan. Dari hasil penelitian tersebut di temukan bahwa pandemi sangat berpengaruh akan  kesehatan metal remaja. Akan tetapi, kesehatan mental pula tergantung pada setiap individu dan  keluarga dalam menjalani kehidupan di masa pandemi Covid-19. Sedangkan di wilayah Indonesia  penelitian tentang kesehatan remaja dilakukan oleh I Gusti Ayu Rai Rahayuni dkk (2020) di Bali,  menunjukan bahwa sebesar 57,6% menunjukan adanya gejala psikotik dan 42,4% tidak menujukan  gejala psikotik.  

Bukti lain yang disampaikan oleh WHO (2020) bahwasanya selama pandemi, individu  berpotensi mengalami gejala trauma psikologis, bunuh diri dan kepanikan. Kondisi tersebut  semakin di per parah oleh keadaan yang harus menjalani kehidupan di rumah ditambah lagi dengan  adanya kekerasan dalam keluarga, penggunaan gadget dan internet yang berlebihan, beban  akademik, dan konten media sosial.  

Munculnya gejala gangguan kesehatan mental tergantung individu yang menjalani  kehidupan di masa pandemi Covid-19, remaja yang mengalami ketakutan berlebihan tentunya  akan memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan misalnya menurunnya sistem imun tubuh,  sedangkan remaja yang acuh tak acuh pun juga memunculkan resiko yang berdampak negatif bagi  diri dan orang di sekitarnya. Dengan demikian remaja mestinya menerapkan hidup yang waspada  tanpa perlu takut yang berlebihan, dan tetap mengindahkan protokol kesehatan tentunya dibarengi  dengan menghindari hal-hal yang menyebabkan menurunnya kesehatan mental.  

Pembahasan 

Sebelum membahas lebih jauh, terlebih dahulu kita menyamakan akan persepsi tentang  remaja. Menurut Mappiare dikutip oleh Faizah Noer Laela (2017) masa remaja di mulai pada usia  antara usia 12 - 21 tahun bagi wanita dan 13 - 22 tahun bagi pria.  

Adapun penyebab menurunnya kesehatan mental pada remaja adalah sebagai berikut:  1. Kehidupan dalam keluarga 

Di masa pandemi remaja lebih banyak menghabiskan aktivitas di rumah, sehingga  kehidupan di dalam keluarga sangat perlu di perhatikan, mulai dari suasana, hingga pola asuh orang tua. Laporan kekerasan seksual, pemerkosaan, kekerasan, dan pornografi  Online telah mencapai puncaknya sejak penerapan kebijakan jarak sosial dan kebijakan  bekerja dari rumah (Abdullah, 2020). Di kutip dari Okenews (2020) dalam kurun rentang  waktu 2 Maret sampai 25 April 2020 terjadi sekitar 275 kekerasan yang terjadi pada  perempuan dengan total korban sebanyak 277 orang. Sedangkan 368 kasus kekerasan yang  terjadi pada anak dengan jumlah korban 407 orang.  

Dari kasus di atas dapat kita pahami bahwa pandemi Covid-19 sang at besar  dampaknya dalam segala aspek lini kehidupan, hanya dalam kurun waktu sebulan jumlah  korban KDRT sudah besar, apalagi jika pandemi berlangsung lama, tentunya jumlah kasus  dan korban akan terus meningkat dan turut penyumbang penyebab menurunnya kesehatan  mental seorang remaja, hal ini dapat dilihat dari dampak kekerasan yang sampaikan oleh  Vitria Lazzarni (2011) yaitu 1) Anak merasa ketakutan, kebingungan, dan sangat kaget  melihat kekerasan yang terjadi pada orangtuanya, 2) Tumbuh perasaan bersalah karena  menganggap diri menjadi penyebab munculnya kekerasan, 3) Menjadi rewel, mengeluh  sakit, sulit tidur, dan kembali berperilaku seperti bayi, 4) Cenderung suka melawan dan  kasar atau malah justru menjadi tidak mau berteman dan lebih memilih menyendiri, 5)  Mengganggu perkembangan anak, baik secara fisik, kejiwaan, perilaku, maupun  prestasinya nanti, 6) Dampak jangka panjang pada anak laki-laki adalah meniru perilaku  kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya. Sedangkan anak perempuan cenderung menerima  kekerasan sebagai suatu hal yang wajar sehingga ketika dewasa nanti besar kemungkinan  akan kembali menjadi korban.  

Penyebab lain menurunnya kesehatan mental remaja dalam keluarga adalah polah  asuh orang tua. dikutip dari OkeLifestyle, Kak Seto (2020) mengungkapkan terdapat tiga  penyebab anak mengalami stres saat di rumah, salah satunya adalah polah asuh orang tua.  

Secara umum terdapat di tiga pola orang tua dalam mengasih anak, pertama,  Authoritarian yaitu pola asuh orang tua yang bersifat otoriter dan berorientasi pada  hukuman dan jarang memberikan pujian. Kedua, Permissive yaitu bentuk pola asuh yang  jarang memberikan perintah dan cenderung memanjakan anak dan membiarkan anak  melakukan apapun tanpa adanya bimbingan. Ketiga, Authoritative yaitu pola asuh orang  tua yang bersifat demokratis yang bercirikan seperti orang tua mendengarkan pendapa  anak, menghargai dan mengarahkan anak. 

Dari bentuk polah asuh orang tua terhadap anak tersebut sangat di harapkan orang  tua mampu menerapkan pola asuh yang ketiga, demi mencegah perasaan tertekan pada  anak yang berujung pada stres serta tidak terlalu memanjakan anak, terlebih mereka akan  memasuki usia yang harus membutuhkan sikap mandiri. Terlebih di masa pandemi covid 

19 anak lebih banyak di rumah sehingga orang tua harus mampu mendidik anak dengan  baik.  

Tidak dapat di pungkiri bahwa selama pandemi Covid-19 peran orang tua dalam  mengasuh dan mendidik anak menjadi sangat sentral. Orang tua harus menjadi guru semua  mata pelajaran bagi anak. Orang tua di tuntut harus mampu menjelaskan semua materi  pelajaran kepada anak bahkan memaksakan suatu capaian kepada anak. Sementara itu,

orang tua juga belum tentu memahami materi pelajaran anaknya. Selain itu pola asuh orang  tua yang tidak sabar dalam mendidik anak dapat menimbulkan kekerasan, hal ini  menyebabkan anak menjadi tertekan dan akhirnya mengalami stres.  

Selain pola asuh Kak Seto juga menyampaikan bahwa anak yang di lingkungan  keluarga yang perokok beresiko mengalami stres. Tidak dapat di pungkiri beban psikis di  masa pandemi Covid-19 sangat berpotensi mengaktifkan kembali ungkapan semakin stres  seorang semakin sering pula merokok.  

Rokok itu dapat meracuni anak, terlebih jika di rumah itu ada balita atau bayi,  sebab paparan nikotin yang tersebar bahkan menempel di barang-barang akan berdampak  sangat buruk bagi kesehatan anak (Sukardi, 2020)

Selama pandemi Covid-19 keseharian anak akan lebih banyak dihabiskan bersama  orang tuanya di rumah. Oleh karena itu anak yang sering melihat orang tuanya merokok  sangat berpotensi untuk ikut merokok. Hal ini didukung oleh remaja memiliki tingkat  penasaran yang lebih tinggi serta lebih mudah mencontoh apa yang dilihatnya dari pada  yang didengarnya. 

Dengan demikian solusi yang paling tepat adalah menciptakan suasana keluarga  yang nyaman bagi semua anggota keluarga, menjalin komunikasi yang baik dalam  keluarga, orang tua harus mengerti kebutuhan remaja begitupun sebaliknya.  2. Konten media sosial  

Konten media sosial ini bersinggungan dengan apa yang disampaikan oleh Kak  Seto dalam OkeLifestyle (2020) yaitu “anak tertekan sehingga gadget menjadi  pelampiasan”. Keseharian anak yang sebelumnya di isi dengan bersekolah, bermain dan  aktivitas lainnya, kini mereka harus di tuntut untuk di rumah. Adanya tekanan dan larangan  untuk berdiam di rumah dalam waktu yang lama membuat seseorang khususnya remaja  merasa bosan dan stres.  

Dahulu mereka bisa mengerjakan tugas sekolah secara berkelompok, kini seorang  anak mengerjakan tugas-tugasnya sendiri atau di bantu oleh orang tua. Proses belajar dan  mengajar yang berlangsung secara online pun juga bagi anak sesuatu hal yang sangat  membosankan dan melelahkan di mana harus di depan laptop atau HP selama berjam-jam.  

Saat di rumah saja dan tidak aktivitas lain serta merasa bosan remaja akan berusaha  untuk mencari pelampiasan, misalnya seperti bermain gadget. Kak Seto menyampikan  bahwa perilaku ini akan berdampak pada tumbuh kembang remaja apalagi jika mereka  mengakses informasi yang mengandung hal-hal yang negatif seperti video kekerasan,  pornografi. Dampak penggunaan gadget yang berlebihan seperti susah tidur (insomnia),  gangguan pola makan, gangguan kesehatan mata, gangguan dalam kehidupan keluarga,  sosial, akademik prestasi di sekolah, atau pun cyber bullying.  

Dalam https://wartakota.tribunnews.com/ (2020) Di masa pandemi covid-19 di  laporkan mengalami peningkatan sebesar 18 persen dari sebelum adanya wabah. Grubbs  menduga kuat bahwa peningkatan konsumsi pornografi yang drastis di masa pandemi  sekarang ini karena orang mengalami kebosanan. Makin bosan, makin tinggi minat untuk 

mengonsumsi materi porno. Di kutip dari laman https://www.kemenpppa.go.id/ Diena  Haryana mengungkapkan sebanyak 95,1% remaja SMP dan SMA di 3 (tiga) kota besar di  Indonesia, yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Aceh telah mengakses situs pornografi  dan menonton video pornografi lewat internet. 0,48% diantaranya diketahui teradiksi  ringan, dan 0,1% teradiksi berat (Data Kemenkes dan Kemdikbud, 2017). Ini menunjukan  semakin canggihnya teknologi digital di suatu wilayah, maka semakin mudah bagi anak 

anak di sana untuk mengakses pornografi 

Akses pornografi sangat mengkhawatirkan karena kecanduan pornografi pada anak  memilki dampak lebih berbahaya dari Napza karena dapat merusak 5 (lima) bagian otak  manusia, salah satunya Pre Frontal Cortex (PFC) sebagai bagian penting pengontrol fungsi  moral untuk membedakan hal baik dan buruk, merencanakan kehidupan ke depan, dan  mengambil keputusan ataupun munculnya perilaku seksual yang negatif 

Guna menghindari hal tersebut, orang tua harus mengontrol dan mengawasi  penggunaan gadget pada anak mereka, tidak hanya mengontrol akan tetapi perlu juga  menciptakan lingkungan yang bersahabat dan kehangatan relasi agar anak merasa lebih  nyaman berada di samping orang tuanya sehingga anak lebih mudah untuk di ajak  berdiskusi, berbincang-bincang dan mengajak mereka untuk melakukan aktivitas kecil  seperti membantu membersihkan rumah.  

3. Ketakutan yang berlebihan  

Munculnya OCD (obsessive compulsive disorder) menjadi salah satu dampak dari  ketakutan berlebihan akan terinfeksi virus Covid-19. Sebagai contoh misalnya remaja  menerima barang dari orang lain, seketika akan mencari atau mencuci tangan. contoh lain  ketika seseorang beribadah di masjid, kemudian di sampingnya tidak mengenakan masker,  setelah selesai salam dalam sholat, langsung keluar tanpa berzikir karena dihantui perasaan  takut terinfeksi virus yang diakibatkan di sebelahnya tidak mengenakan masker 

Hal ini memang secara fisik memang berdampak akan kesehatan akan tetapi secara  mental berdampak negatif yang berujung pada lebih memilih untuk mengurung diri di  dalam rumah dan berlanjut pada kurangnya interaksi sosial dengan lingkungannya pada  akhirnya menutup diri dari pergaulan sosial. Padahal pengalaman sosial sangat berperan  dalam pengembangan otak manusia (otak sosial) dimana jika seorang anak berinteraksi  dengan anak lainnya yang memiliki pengalaman sosial yang berbeda tentu itu akan  berpengaruh pada perubahan otak, terlepas dari pengalaman sosial yang bersifat negatif  atau positif hal ini disampaikan oleh Eric Jansen (2005).  

Solusi dari persoalan ini adalah salah satunya dengan kembali lagi ke pola asuh  yang diberikan oleh orang tua dan kehidupan keluarga serta lingkungan sekitarnya. Dimana  hendaknya bimbing untuk tidak terlalu paranoid akan pandemic Covid-19, waspada harus  akan tetapi jangan takut berlebihan.  

Kesimpulan  

Pandemi Covid-19 berdampak bagi segala aspek kehidupan, tidak terkecuali pada  kesehatan mental remaja. Guna menghindari hal tersebut langkah yang paling pertama dilakukan 

adalah menciptakan lingkungan keluarga yang positif, terkait konten pornografi, orang tua harus  mengontrol gadget anaknya, sebisa mungkin seorang remaja diajak untuk melakukan aktivitas  yang positif misalnya olahraga, berdiskusi tentang akademik anak, mempelajari agama, dan  aktivitas lainnya. 

Komentar

Label Konten

Baca Juga

Jun 04, 2024 • 394x Dilihat
Pembuatan Website Aplikasi Top Up Game dan Pulsa

Pembuatan Website Aplikasi Top Up Game dan Pulsa - Kami Menyediakan banyak pilihan tampilan dan fitur…

May 22, 2024 • 356x Dilihat
Panduan Lengkap Menjadi Freelancer Sukses di Era Digital

Panduan Lengkap Menjadi Freelancer Sukses di Era Digital - Era digital telah membuka banyak peluang…

May 19, 2024 • 489x Dilihat
Manfaatkan Waktumu dengan Bijak! Temukan Kerja Online Menguntungkan Dibayar ke DANA

Manfaatkan Waktumu dengan Bijak! Temukan Kerja Online Menguntungkan Dibayar ke DANA - Di era digital…